
Ah, Leicester. Selatan bukan, utara bukan. Bagian dari Midlands (wilayah tengah Inggris) yang selalu disepelekan.
Inggris
Selatan yang kaya raya dan manja, dengan London sebagai pusatnya,
menganggap kalian tak cukup berbudaya. Sedikit saja perbaikan dari
Inggris Utara.
Inggris Utara yang kasar, penuh keyakinan,
bermulut besar, dengan tenaga yang bisa menghidupkan seluruh Inggris
Raya, melihat kalian lembek seperti Inggris Selatan. Menganggap kalian
tak sepadan.
Mereka tak pernah rukun antarsesama, tapi setia sepakat merendahkan kalian.
Semua menertawakan. "Sekali kota pedalaman, selamanya kota pedalaman. Terbelakang dan tak penting," kata mereka.
Ketika kalian mencampur bumbu curry ke fish and chip, mereka bilang rasanya bukan Inggris lagi.
Ketika warung makan kalian menyediakan tarka dal (makanan Asia Selatan), jerk chicken (ayam bakar gaya Karibia), bercampur dengan shepherd pie (makanan khas Inggris) dalam satu mampan, mereka mengeryitkan dahi dan menggeleng kepala tak setuju.
Ketika
kalian mengibarkan bendera Union Jack, mereka bertanya "Apakah kalian
benar telah merasa menjadi orang Inggris Raya?" Terpana dengan warna
kulit kalian yang hitam, putih, kuning, keling, dan sekian rupa.
Di
kota kalian, gereja, masjid, gurdwara, kuil bertebaran sama banyaknya.
Mereka seperti tak percaya. Sama seperti tak percayanya ketika Diwali
dan Natal dirayakan sama meriahnya.

Bagi kalian manusia adalah manusia. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Kalian menerima imigran India, Polandia, Karibia, dan Afrika. Siapa saja.
Kalian lindungi dan santuni pengungsi. Layaknya saudara sendiri.
Lalu tanpa bukti seluruh negeri berasumsi, kalian tak lebih dari (paling parah) pencuri dan (paling halus) pengemis pundi-pundi.
"Kalau
tidak, dari mana uang untuk membiayai kehidupan para imigran dan
pengungsi itu?" Mereka pura-pura bertanya tapi sejujurnya menggugat.
Mereka lupa untuk berkaca sebelum menuduh kalian demikian.
Mereka
tak melihat jalan bebatuan dari jaman Romawi yang masih terawat.
Mengkilap karena tetes peluh keringat para imigran dan pengungsi
(beserta anak turunnnya) yang membersihkannya.

Mereka lupa siapa yang menjadi buruh untuk menjaga agar industri manufaktur tidak mati.
Mereka
tak memperhatikan jilbab dan turban yang kalian kenakan di
kantor-kantor pemerintahan. Atau seberapa pekat kulit yang menyajikan
teh dan kopi yang dengan rakus mereka minum.
Dan ketika mereka sakit dan perlu dirawat, barulah mereka belajar mengenai sebuah negara bernama Filipina.
Ah... Leicester.
Itulah
sebab bagi banyak orang kalian bukan sekadar sebuah kota. Tapi sebuah
harapan. Mimpi akan kemanusiaan (akan sesuatu) yang lebih baik.
Tak
apa kalau mimpi dan harapan itu sering membawa hanya ke sebuah hidup
yang biasa-biasa saja. Setidaknya kalian tampung dan beri kesempatan
kepada siapa saja.
Dari rahim kalian Leicester City lahir. Klub
sepakbola sederhana. Walau, "Klub abal-abal," ejek mereka. Selalu
mengejek. Selalu mencibir.
Lebih parah lagi. "Town full of Paki. You just a town full of Paki," nyanyi mereka setiap kali kalian bertanding. Rasis, vulgar, dan sempit hati.
Seolah
hina kalau hampir separuh penduduk kalian bukan putih kulitnya. Seolah
tak berharga kalau sepertiga penduduk kalian lahir di luar Inggris sana.
Seolah karenanya kalian tak layak punya klub sepakbola.
Lebih
celaka lagi, Vichai dan Alyawatt Sriyaddhanaprabha adalah kini pemilik
klub sepakbola kalian. Bapak dan anak asal Thailand.
Sudah bukan
nama keluarga asal Amerika, atau oligarkh asal Rusia, atau uang dari
kawasan Arabia. Susah pula diucap mereka punya nama. Duit sepertinya
juga tak seberapa.
Beruntung Leicester City tak pernah lupa untuk
menyimpan DNA yang sama dengan ibu kandungnya: hati yang leluasa dan
selalu tempat harap bernaung.
Maka dibuka sekali lagi peruntungan
bagi mereka (para pemain) yang tersingkir. Seperti imigran dan
pengungsi yang mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Mungkin ketiga.
Bahkan keempat.
Mereka berkumpul. Belajar lagi tentang apa itu harapan. Belajar lagi tentang apa itu memulai segala sesuatunya dari bawah.
Tak
ada bintang. Tak ada jagoan. Hanya satu rasa: satu nasib
sepenanggungan. Kebersamaan tanpa rasa congkak. (Mungkin juga)
Romantisme tanpa rasa congkak.
Kalian panggil pelatih yang telah
berkeliling Eropa. Tetapi karirnya lebih sering berujung pada pemecatan
ketimbang keberhasilan. Lebih sering merana ketimbang mengangkat piala.

Senyumnya lebih menawarkan keraguan ketimbang kepastian. Tutur katanya
pendek-pendek seperti terpotong oleh pikiran yang datang tiba-tiba
ketika ia sedang berbicara.
Seperti juga bagaimana ia bertutur
kata, ia seperti punya dorongan untuk selalu mengubah-ubah susunan
pemain dan taktik sesuka hatinya. Selalu ada pikiran yang datang
tiba-tiba untuk mengubah apa yang terjadi di lapangan. Sering
mengejutkan lawan maupun anak asuhnya sendiri.
The Tinkerman (tukang otak-atik), kata orang. Harus dipahami, itu bukan julukan untuk memuji.
Tak
heran kalau dari kalangan kalian sendiri sempat menyebut pilihan
memanggilnya adalah pilihan yang tidak inspiratif. Sebuah perjudian yang
semestinya dihindari.
Tetapi begitulah. Entah apa yang terjadi di
kala kalian latihan. Entah pula apa yang diomongkan sang pelatih di
ruang ganti pakaian.
Kalian menang melawan klub besar. Menang
pula melawan klub menengah. Tak perlu dibicarakan dengan sesama klub
kecil. Di luar dugaan kalian cukup konsisten hingga sekarang.

Seluruh negeri, termasuk penggemar bola di luar Inggris – termasuk kami
di Indonesia, menunggu kapan kalian akan terseok. Atau (sejujurnya)
berharap kalian terpuruk. Tak percaya (dan tidak rela) bahwa kalian
benar-benar bisa bertahan.
Ini sudah Januari dan kalian masih
berkibar, menyelip di antara klub-klub besar (atau klub-klub yang merasa
diri mereka besar) di puncak liga. Sungguh seluruh negeri, dan
lagi-lagi kami juga penggemar sepakbola Inggris di Indonesia, masih
terperanjat.
Semoga saja cibiran "klub abal-abal" tidak kemudian terdengar. Walau itu hampir pasti hanya khayal.
Semoga saja
"Town full of Paki. You just a town full of Paki," haram dinyanyikan. Walau ketika mereka ingin merendahkan kalian, sungguh hati sulit untuk ditebak.
Ah... Leicester (City).
Kalaupun
di akhir nanti kalian biasa-biasa saja, setidaknya kalian pernah
mengingatkan akan romantisnya sebuah harapan bagi mereka yang sepertinya
tidak mungkin.
Romantisme tanpa rasa congkak.