TELOR DADAR BUATAN SANDI

Lho kok elo beda? kita kan semua sepakat untuk kompak? lho kok lo gitu? kita kan semua udah setuju dari awal untuk gini?

saban hari mikirin orang yang ngga nyadar kalo lagi di pikirin sama gue.. kalo otak bisa ngomong dia bakalan ngomong.. anyiiiing di ruang gue cuma ada eloooo.. nyadar napeee!!!!

We all know, st,jimmy is a lie... you got some fucking bastard!!!!!!

APA KAMU TAU? SELANGKANGAN TAK AKAN SELAMANYA AMAN SAAT KEBERSAMAAN DALAM GENGGAMAN.

NOT REALLY.. huhuhuhu... 

bukan bermaksud kurang ajar, hanya saja gue terlalu suka akan keintiman tersebut. oh my god.. it was so crazy to tell here.. 

but wait! gue mah heran sama orang-orang disitu, yang di sindir siapa.. yang ngerasa kesindir siapa.. yang dikatain bego siapa.. yang marah-marah karena ngerasa bego siapa..  

halahh makin random aja postingan gue ini, heuheuheu.. etapi gue seneng bgt btw, leicester juara BPL, rossi juara di jerez maren, dan gue juara di hati lo.. iyuuhhh..


oke makin ngga jelas.. bye

@pernahsalah
 

ROMANTISME TANPA RASA CONGKAK

Ah, Leicester. Selatan bukan, utara bukan. Bagian dari Midlands (wilayah tengah Inggris) yang selalu disepelekan.

Inggris Selatan yang kaya raya dan manja, dengan London sebagai pusatnya, menganggap kalian tak cukup berbudaya. Sedikit saja perbaikan dari Inggris Utara.

Inggris Utara yang kasar, penuh keyakinan, bermulut besar, dengan tenaga yang bisa menghidupkan seluruh Inggris Raya, melihat kalian lembek seperti Inggris Selatan. Menganggap kalian tak sepadan.

Mereka tak pernah rukun antarsesama, tapi setia sepakat merendahkan kalian.

Semua menertawakan. "Sekali kota pedalaman, selamanya kota pedalaman. Terbelakang dan tak penting," kata mereka.

Ketika kalian mencampur bumbu curry ke fish and chip, mereka bilang rasanya bukan Inggris lagi.

Ketika warung makan kalian menyediakan tarka dal (makanan Asia Selatan), jerk chicken (ayam bakar gaya Karibia), bercampur dengan shepherd pie (makanan khas Inggris) dalam satu mampan, mereka mengeryitkan dahi dan menggeleng kepala tak setuju.

Ketika kalian mengibarkan bendera Union Jack, mereka bertanya "Apakah kalian benar telah merasa menjadi orang Inggris Raya?" Terpana dengan warna kulit kalian yang hitam, putih, kuning, keling, dan sekian rupa.

Di kota kalian, gereja, masjid, gurdwara, kuil bertebaran sama banyaknya. Mereka seperti tak percaya. Sama seperti tak percayanya ketika Diwali dan Natal dirayakan sama meriahnya.


Bagi kalian manusia adalah manusia. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Kalian menerima imigran India, Polandia, Karibia, dan Afrika. Siapa saja.

Kalian lindungi dan santuni pengungsi. Layaknya saudara sendiri.

Lalu tanpa bukti seluruh negeri berasumsi, kalian tak lebih dari (paling parah) pencuri dan (paling halus) pengemis pundi-pundi.

"Kalau tidak, dari mana uang untuk membiayai kehidupan para imigran dan pengungsi itu?" Mereka pura-pura bertanya tapi sejujurnya menggugat.

Mereka lupa untuk berkaca sebelum menuduh kalian demikian.

Mereka tak melihat jalan bebatuan dari jaman Romawi yang masih terawat. Mengkilap karena tetes peluh keringat para imigran dan pengungsi (beserta anak turunnnya) yang membersihkannya. 


Mereka lupa siapa yang menjadi buruh untuk menjaga agar industri manufaktur tidak mati.

Mereka tak memperhatikan jilbab dan turban yang kalian kenakan di kantor-kantor pemerintahan. Atau seberapa pekat kulit yang menyajikan teh dan kopi yang dengan rakus mereka minum.

Dan ketika mereka sakit dan perlu dirawat, barulah mereka belajar mengenai sebuah negara bernama Filipina.

Ah... Leicester.

Itulah sebab bagi banyak orang kalian bukan sekadar sebuah kota. Tapi sebuah harapan. Mimpi akan kemanusiaan (akan sesuatu) yang lebih baik.

Tak apa kalau mimpi dan harapan itu sering membawa hanya ke sebuah hidup yang biasa-biasa saja. Setidaknya kalian tampung dan beri kesempatan kepada siapa saja.

Dari rahim kalian Leicester City lahir. Klub sepakbola sederhana. Walau, "Klub abal-abal," ejek mereka. Selalu mengejek. Selalu mencibir.

Lebih parah lagi. "Town full of Paki. You just a town full of Paki," nyanyi mereka setiap kali kalian bertanding. Rasis, vulgar, dan sempit hati.

Seolah hina kalau hampir separuh penduduk kalian bukan putih kulitnya. Seolah tak berharga kalau sepertiga penduduk kalian lahir di luar Inggris sana. Seolah karenanya kalian tak layak punya klub sepakbola.

Lebih celaka lagi, Vichai dan Alyawatt Sriyaddhanaprabha adalah kini pemilik klub sepakbola kalian. Bapak dan anak asal Thailand.

Sudah bukan nama keluarga asal Amerika, atau oligarkh asal Rusia, atau uang dari kawasan Arabia. Susah pula diucap mereka punya nama. Duit sepertinya juga tak seberapa.

Beruntung Leicester City tak pernah lupa untuk menyimpan DNA yang sama dengan ibu kandungnya: hati yang leluasa dan selalu tempat harap bernaung.

Maka dibuka sekali lagi peruntungan bagi mereka (para pemain) yang tersingkir. Seperti imigran dan pengungsi yang mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Mungkin ketiga. Bahkan keempat.

Mereka berkumpul. Belajar lagi tentang apa itu harapan. Belajar lagi tentang apa itu memulai segala sesuatunya dari bawah.

Tak ada bintang. Tak ada jagoan. Hanya satu rasa: satu nasib sepenanggungan. Kebersamaan tanpa rasa congkak. (Mungkin juga) Romantisme tanpa rasa congkak.

Kalian panggil pelatih yang telah berkeliling Eropa. Tetapi karirnya lebih sering berujung pada pemecatan ketimbang keberhasilan. Lebih sering merana ketimbang mengangkat piala.


Senyumnya lebih menawarkan keraguan ketimbang kepastian. Tutur katanya pendek-pendek seperti terpotong oleh pikiran yang datang tiba-tiba ketika ia sedang berbicara.

Seperti juga bagaimana ia bertutur kata, ia seperti punya dorongan untuk selalu mengubah-ubah susunan pemain dan taktik sesuka hatinya. Selalu ada pikiran yang datang tiba-tiba untuk mengubah apa yang terjadi di lapangan. Sering mengejutkan lawan maupun anak asuhnya sendiri.

The Tinkerman (tukang otak-atik), kata orang. Harus dipahami, itu bukan julukan untuk memuji.

Tak heran kalau dari kalangan kalian sendiri sempat menyebut pilihan memanggilnya adalah pilihan yang tidak inspiratif. Sebuah perjudian yang semestinya dihindari.
Tetapi begitulah. Entah apa yang terjadi di kala kalian latihan. Entah pula apa yang diomongkan sang pelatih di ruang ganti pakaian.

Kalian menang melawan klub besar. Menang pula melawan klub menengah. Tak perlu dibicarakan dengan sesama klub kecil. Di luar dugaan kalian cukup konsisten hingga sekarang.


Seluruh negeri, termasuk penggemar bola di luar Inggris – termasuk kami di Indonesia, menunggu kapan kalian akan terseok. Atau (sejujurnya) berharap kalian terpuruk. Tak percaya (dan tidak rela) bahwa kalian benar-benar bisa bertahan.

Ini sudah Januari dan kalian masih berkibar, menyelip di antara klub-klub besar (atau klub-klub yang merasa diri mereka besar) di puncak liga. Sungguh seluruh negeri, dan lagi-lagi kami juga penggemar sepakbola Inggris di Indonesia, masih terperanjat.

Semoga saja cibiran "klub abal-abal" tidak kemudian terdengar. Walau itu hampir pasti hanya khayal.

Semoga saja "Town full of Paki. You just a town full of Paki," haram dinyanyikan. Walau ketika mereka ingin merendahkan kalian, sungguh hati sulit untuk ditebak.

Ah... Leicester (City).

Kalaupun di akhir nanti kalian biasa-biasa saja, setidaknya kalian pernah mengingatkan akan romantisnya sebuah harapan bagi mereka yang sepertinya tidak mungkin. Romantisme tanpa rasa congkak.